Adakah yang pernah dengar yang namanya Abu Nawas? Ya.. dia adalah salah satu tokoh kisah 1001 malam. Kisah ala timur tengah sana. Lalu apakah Abu Nawas itu hanya sebuah kisah fiktif ataukah memang benar-benar pernah ada? Dahulu aku pernah mengira Abu Nawas itu hanyalah tokoh yang sengaja diciptakan dalam sebuah kisah fiksi (dongeng lebih tepatnya). Itu karena dia termasuk dalam dongeng dan kisahnya mengundang orang untuk tertawa. Namun beberapa waktu lalu aku menemukan referensi yang mengatakan bahwa Abu Nawas memang benar-benar pernah hidup di dunia ini. Cerita-ceritanya pun kebanyakan memang benar-benar pernah terjadi. Cerita-cerita itu diceritakan kembali turun temurun hingga sekarang. Jadi memang ada saja kemungkinan cerita tersebut ditambahi atau dikurangi sesuai dengan opini sang pencerita.
Dalam referensi yang kubaca, Abu Nawas adalah seorang penyair sekaligus sufi yang pernah hidup pada masa kekhalifahan Sultan Harun al Rasyid. Nama aslinya Abu Ali al Hasan bin Hani al-Hakam. Lahir pada 145 H (747 M) di kota Ahwaz, Persia (sekarang berganti jadi Iran). Dia belajar ilmu pengetahuan tentang Islam dan kesusastraan Arab di Irak. Ini karena Ibunya pindah ke sana setelah ayahnya meninggal. Kemudian akhirnya Abu Nawas tinggal di Baghdad (Irak) yang pada waktu itu merupakan peradaban Islam yang sangat berjaya. Tahun berapa Abu Nawas wafat masih belum dapat dipastikan. Namun ada yang mengatakan dia wafat pada 190 H (806 M), 195 H (810 M), 196 H (811 M), 198 H (813 M) atau ada juga yang mengatakan tahun 199 H (814 M). Dia meninggal karena dibunuh oleh seorang suruhan keluarga Nawbakhti yang dendam padanya dan akhirnya dia dimakamkan di Syunuzi, Baghdad.
Kisah-kisahnya memang sangat jenaka. Namun dibalik kejenakaan itu, terdapat nilai positif yang dapat diambil. Seringkali Abu Nawas berhadapan dengan Sultan Harun al Rasyid. Ini bukan karena Sultan membencinya. Tapi karena Sultan tahu kecerdikan Abu Nawas. Maka seringkali Sultan mengetesnya dengan pelbagai hal yang mungkin menurut orang tak masuk akal. Salah satu kisah yang menurutku menarik adalah yang berjudul “Abu Nawas Kena Tipu” yang dikisahkan kembali oleh A.Choiron Marzaki (2005). Beginilah ceritanyanya:
Alkisah, Sultan Harun al Rasyid menjanjikan hadiah limaratus dirham apabila Abu Nawas mampu duduk semalaman dia atap dengan berlepas baju, tanpa penghangat apalagi selimut. Abu Nawas pun bersedia, dan melakukannya. Ia bertahan semalaman dalam keadaan menggigil. Pada keesokan paginya ia menagih hadiah yang dijanjikan sultan. Sultan tidak langsung memberikan hadiah itu melainkan mengajak Abu Nawas berdialog.
“Sebentar,” ujar sultan, “satu hal perlu kutanyakan padamu, Abu Nawas!”
“Biak, langsung saja paduka! Apa pertanyaannya?”
“Apakah semalaman kamu melihat sesuatu?”
“Maksud paduka?”
“Cahaya, misalnya”
“Oh, jelas! Bukankan di istana ini saja bila malam tiba semua lampu dinyalakan? Otomatis hamba melihat cahaya”.
“Nah, berarti kamu tak berhak menerima hadiah itu. Bukankah kamu telah dihangati oleh cahaya-cahaya itu?”
“Gila! Ini namanya tidak fair paduka! Jelas tubuh saya nyaris beku seperti ini, kok malah dikatakan sudah dihangati!”
Sultan tidak menggubris protes Abu Nawas, tetapi tertawa terbahak-bahak mampu menipu Abu Nawas yang cerdik dan selama ini selalu memenangkan sayembara apapun. Abu Nawas pun meninggalkan sultan dengan hati dongkol dan berjanji dalam hati untuk mengajak kebaikan pada sultan dilain kesempatan, agar sultan menjadi penguasa yanga menepati janji dan tidak menipu siapa saja.
Pada suatu hari yang dianggap tepat, Abu Nawas pun menghadap sultan, dengan maksud untuk mengajak berbuat baik.
“Eee, rupanya kamu yang datang, Abu Nwas. Ada perlu apa datang ke istana? Masih mau protes kejadian tempo hari?”
“Oh, sama sekali tidak! Bagi hamba itu merupakan pelajaran tak langsung dari paduka yang amat berharga. Justru seharusnya hamba berterimakasih pada paduka atas peristiwa yang lalu itu.”
“Lalu apa yang kau mau?”
“Begini. Besok pagi hamba mau mengadakan pesta. Berkenaan dengan itu hamba sangat mengharap kiranya paduka beserta seluruh pejabat tinggi kerajaan berkenan hadir pada acara tersebut”.
“Emmm, baiklah! Kebetulan tak ada jadwal kunjungan untuk besok pagi”.
“Terima kasih sebelumnya, paduka!”
Pagi-pagi Abu Nawas sudah muncul di istana, menjemput sendiri sultan beserta rombongan. Setelah kira-kira separo perjalanan, Abu Nawas mohon diri untuk mendahului rombongan dengan alasan mengecek persiapan dalam rangka menyambut kehadiran rombongan kerajaan tersebut. Sesampainya di lokasi ia segera mengatur segala sesuatunya agar rencana yang telah disusun berhari-hari itu tak berantakan.
“Bagaimana, tenda sudah berdiri semua? Kursi-kursi sudah benar-benar rapi?” Tanya Abu Nawas pada para anak buahnya.
“Beres,” jawab mereka serempak.
Lalu ia bergegas menuju bagian dapur. Diperintahkannya agar tungku besar ditaruh di bawah pohon raksasa yang tinggi menjulang dan dinyalakan api. Sementara periuk-periuk yang telah diisi daging mentah ia perintahkan agar digantung pada dahan-dahan pohon raksasa itu.
“Tambah lagi kayu bakarnya! Pantau terus, jangan sampai api di tungku ininpadam! Mumpung harga BBM belumnaik, begitu api mau mengecil, cepat tuangkan minyak tanah banyak-banyak dan tambah lagi kayu bakarnya!” pesan Abu Nawas.
Rombongan raja pun tiba di tempat pesta. Abu Nawas segera mempersilahkan mereka agar menduduki tempat yang telah disediakan. Setelah berbasa-basi sejenak dan hadirin terlihat sudah duduk semua maka Abu Nawas mulai menyuguhkan cerita-cerita kocaknya.
Kian lama suasana semakin hangat hingga sang raja tak merasa bahwa ia telah berjam-jam duduk di tempat itu.
Setelah dikocok berjam-jam maka perut sang raja pun terasa lapar. Maka tanpa rikuh is bertanya.
“Abu Nawas! Kok hidangannya belum keluar?”
“Sabar sedikit paduka. Baru saja seorang juru masak memberitahukan bahwa daging yang dimasak sejak rombongan paduka belum tiba itu kini belum juga matang”.
“Daging apa pula itu? Coba antar aku ke bagian dapur!”
“Mari Paduka”.
Setibanya disana sang raja tambah heran. Ada tungku besar dengan api yang berkobar-kobar, tetapi tak terlihat ada yang dimasak.
“Abu Nawas! Kok tungkunya nganggur? Tanya sang raja.
“Siapa bilang? Lihat tuh!” sergah Abu Nawas sambil menunjuk periuk-periuk yang bergelantungan di dahan pohon raksasa.
“Kau ini bagaimana Abu Nawas? Mana mungkin bisa matang kalau jarak anatara tungku dan periuk begitu jauh?”
“Ah, jangan pura-pura tak tahulah paduka! Hamba yakin bahwa dalam masalah ini paduka lebih berpengalaman daripada hamba. Hamba sendiri sudah membuktikan bahwa di malam yang beitu dingin, hamba tidur semalaman dia atas atap tanpa baju, apalagi selimut. Tapi tetap terasa begitu hangat sebab terkena sinar lampu!”
Tahu kena sindir, sang raja pun tak bisa menahan tawa. Kemudian ia memerintahkan agar Abu Nawas diberi hadiah uang sebesar seribu dirham. Dua kali lipat dari yang ia janjikan dahulu.
Begitulah kisahnya. Namun aku berpikir jika melakukan hal yang sama pada zaman sekarang ini, apakah yang akan terjadi? Rasanya memang tak semua pemimpin yang disindir dengan cara seperti itu akan berlapang dada atau menyadari kesalahannya karena telah menipu rakyatnya. Tapi ya tentu saja salah menurut siapa, dan benar menurut siapa. Serba relatif sih.
Abu Nawas berhasil mengundang perhatianku karena cara berkomunikasinya yang unik. Lucu, tak masuk akal, namun dengan telak telah berhasil menyindir, merenungi dan menyadarkan. Untungnya dahulu belum ada sosmed. Bayangkan jika orang semacam ini dahulu sudah pegang smartphone dan punya banyak sosmed. Dengan cepat langsung jadi artislah dia. Tapi ya tiba-tiba bisa ngilang begitu saja. Jadilah tak dikisahkan turun-temurun dari zaman ke zaman kayak begini ini (maaf nglantur kemana-mana). Yang jelas aku pikir banyak sekali tokoh-tokoh muslim pada zaman dahulu yang menginspirasi dan karyanya bertahan hingga zaman sekarang. Membuatku ingin mencari-cari ditumpukan buku bazar, toko buku, perpus atau mungkin berselancar didunia maya. Refreshinglah critanya. Biar tak melulu berkutat dengan teori orang barat (Kayak skripsiku itu. Bahasanya aja pake Bahasa Inggris. Sok bule ya).
0 komentar
Click here for komentarOut Of Topic Show EmoticonHide Emoticon