Rasa yang aku maksud ini merupakan rasa yang tak dapat dikalengkan, namun mungkin bisa dikemas dengan kata. Aku terusik dengan rasa yang aku rasakan. Semacam rasa yang mulai kadaluarsa. Bukan… bukan rasaku. Tapi manusia diseberang sana. Walau aku pun tak tahu rasa macam apa itu (bahkan hingga kini).Memang tak tertera tanggal kadaluarsa disana. Namun jika diibaratkan makanan kaleng, jika bau, tampilan, dan rasa di lidah sudah berbeda, maka itu tanda masa kadaluarsa makin dekat.
Nah… itulah cara merasakan tanda-tanda kadaluarsa jika tak ada label kadaluarsanya. Perkaranya untuk melakukan cara itu, makanan kaleng tersebut harus terbeli, dibawa pulang, dirasakan, dan efek yang berasa ya bisa sampai mencret atau keracunan. Tergantung berapa banyak yang tertelan.
Terlanjur. Begitu orang kerap kali menyebut. Jika pada akhirnya keracunan pun, itu ya konsekuensinya. Mau dikembalikan ketempatnya? Ingat lagi, bukankah ada perjanjian ‘barang yang sudah terbeli tak dapat ditukar atau dikembalikan’? Mau menuntut? Pikir dulu, siapa suruh memilih itu? Kalaupun bisa mengembalikan atau pun menuntut, tetap saja sudah pernah merasakan keracunannya kan? Intinya tak ada gunanya mengutuknya.
Pusing membaca tulisan ini yang muter-muter tak jelas? Yah.. Barangkali pengaruh rasa yang kurasa. Rasa memang tak dapat dititipkan pada waktu. Tak salah jika bang Iwan Fals nyanyi ‘Aku cinta kau saat ini. Entah esok hari, entah lusa nanti.. entah..oh.. entah’. Cukuplah kalimat itu yang mewakiliku saat ini. Kalaupun rasa manusia diseberang sana memang sudah hampir kadaluarsa (lagi-lagi tak tau rasa macam apa), hal itu wajar. Tapi tak adakah pilihan untuk daur ulang?
Rasa tengah malam 71215
23:18
0 komentar
Click here for komentarOut Of Topic Show EmoticonHide Emoticon